“Cita-citamu apa, Lex?”
“Jadi dokter paru-paru.”
“Lho......Dokter paru-paru? Kenapa ga dokter lain aja? Dokter bedah atau dokter lainya?”
”Ga ah.”
“Kenapa?”
“Pengen aja.”
“Wo.......alah, Lex, Lex. Mau jadi dokter kok dokter paru-paru. Dokter paru-paru tuh miskin. Soalnya yang sakit juga banyakan orang sederhana atau miskin. Kalau mau tuh jadi dokter bedah atau dokter lainnya. Duitnya banyak.”
*****
Sejak kecil banyak orang-orang di sekitarku yang bertanya tentang cita-citaku tersebut. Dokter paru-paru, itulah jawabanku. Walaupun waktu SD aku sempat ingin menjadi seorang romo, tetapi sekarang aku ingin menjadi seorang dokter paru-paru. Waktu aku SMP, aku belum mengerti kenapa aku ingin menjadi seperti itu.
Pengalamanku mendapatkan tujuan hidupku adalah pada saat aku bersekolah di Van Lith ini tepatnya ketika aku mengikuti OPP (Orientasi Profesi dan Panggilan). Waktu itu, aku menuliskan 3 profesi yang menjadi cita-citaku yaitu dokter paru-paru, ahli terumbu karang, dan psikolog. Ketika aku menuliskan ketiga profesi itu, pikiranku membayangkan ketempat mana aku akan diutus. Aku berangan-angan dan berharap agar aku dapat mendapat tempat OPP di daerah Bandung , Surabaya, atau Malang.
Beberapa waktu kemudian, tempat OPP pun diumumkan. Aku mencari dimana aku akan ditempatkan dalam OPP ini. Kucari namaku dipapan pengumuman mulai dari ketiga kota yang kuharapkan tersebut tetapi tak kutemukan namaku tercantum disana. Aku sedikit kecewa atas hal itu. Terlebih ketika aku mengetahui bahwa aku ditempatkan di Solo.
Kenapa aku ditempatkan di Solo? Lalu profesi apa yang akan aku dalami disana? Pertanyaan-pertanyaan ini berputar-putar di kepalaku. Rasa kecewaku karena kurang mendapat tempat yang sesuai dengan keinginan meragukanku dalam mengikuti OPP. Hal itu ditambah dengan profesi yang didapatkan masih dirahasiakan. Apakah aku dapat menemukan sesuatu hal yang selama ini kucari dalam OPP ini?
*****
Akhirnya aku sampai di Solo untuk menjalami masa OPP-ku. Walaupun aku mendapatkan profesi sebagai dokter paru-paru tetapi sedikit rasa kecewa ini masih tersisa dalam diriku.
Siang hari sekitar pukul 12, aku dijemput oleh dokter yang menjadi orang tua asuhku. Beliau ternyata lebih tua dari orang tua kandungku. Beliau menghampiriku dan berkenalan denganku lalu mengajakku menuju rumah sakit untuk visite terlabih dahulu sebelum pulang kerumah beliau. Disinilah perjalananku dimulai dan Tuhan mulai berbicara padaku dengan caranya yang sangat aneh.
Ketika sampai dirumah sakit, aku diajak masuk kedalam ruang perwatan. Hal yang pertama kali kulihat adalah seorang kakek yang terbaring lemah dengan mengenakan tabung oksigen untuk membantu pernafasannya. Aku hanya bisa bertanya dalam hati. Seandainya alat bantu pernafasan itu dilepaskan, lalu apa yang akan terjadi? Akankan Tuhan juga akan melepaskan nyawanya juga? Inilah awal dari perjalananku.
Beberapa saat kemudian, pak dokter, begitulah aku memanggilnya, mengajakku pulang kerumahnya. Dalam perjalanan,aku berbincang-bincang dengannya mengenai profesi seorang dokter paru-paru. Beliau bertanya kepadaku mengapa aku ingin jadi dokter paru-paru tetapi tetap saja aku memang belum mendapatkan jawaban yang tepat sesuai hatiku jadi kujawab karena ingin aja dan ingin ngobatin banyak orang.
Hari-hari berikutnya, kegiatanku sangat padat. Hampir tak ada waktu untuk beristirahat. Mulai dari jam 5 pagi aku harus sudah mandi dan pergi ke gereja sampai jam 10 malam aku baru bisa masuk kembali ke kamar. Pendamping Van Lith yang bertanggung jawab atas OPP di lokasi Solosaja tak bisa menemuiku. Bukan karena mereka tak punya waktu, melainkan karma aku memang jarang ditempat dan waktu istirahatku sangat sedikit.
Keterisolasianku dari dunia Van Lith dimana aku merasa terlindungi dan aman disana untuk sejenak perlahan-lahan membuka mataku terhadap rasa sakit yang ada di dunia ini. Aku semakin lama semakin melihat berbagai penderitaan yang diderita oleh orang orang yang memiliki masalah terhadap kesehatan mereka sendiri khususnya pada sistem pernafasan. Kerinduan mereka untuk merasakan kebebasan yang benar-benar bebas semakin membuat aku kecewa pada diriku sendiri karena tidak ada yang dapat aku perbuat bagi mereka. Hal ini terus memuncak dalam diriku. Kekecewaan atas diriku semakin bertambah dengan semakin banyaknya orang sakit yang aku temui.
Tetapi, Allah merencanakan suatu hal lain untukku. Pada sekitar hari kedua atau hari ketiga, aku diajak oleh pak dokter untuk bertemu langsung dan berkenalan dengan dengan pasien itu sendiri sebab selama ini aku hanya mengamati dari jendela ruangan tempat pasien-pasien berada. Ada 2 orang pasien yang masih aku ingan perjumpaanku pada mereka yaitu seorang ibu yang terkena paru-paru basah dan seorang anak berumur 15 tahun yang paru-parunya hancur oleh penyakitnya itu. Aku lupa nama mereka.. Tetapi yang tak pernah terlupakan dari ingatanku adalah senyum mereka yang lepas dan tulus ketika mereka diberitahu oleh pak dokter bahwa cita-citaku adalah dokter paru-paru. Aku merasakan nafas lega berhembus dari dalam diri mereka. Semenjak saat itulah kekecewaanku pada diriku sendiri perlahan-lahan lenyap. Dan perlahan-lahan aku menyadari apa yang selama ini aku cari dalam hidupku sendiri. Kerinduan melihat senyum penuh harapan pada orang lain terlebih yang punya urusan dengan masalah sistem pernafasan.
*****
Kenapa harus dengan dokter paru-paru? Aku teringat bahwa diriku pernah menjadi salah satu dari mereka. Berbagai macam jenis obat telah masuk dalam tubuhku saat itu. Mulai dari obat tradisional, obat herbal, ramuan tradisional cina, sampai obat moderen telah bersarang dalam diriku. Pada saat itu aku sudah pasti merepatkan banyak orang yang mengupayakan kesehatanku. Sekarang aku sudah sembuh danak ingin bergantian untuk menolong mereka yang. Itulah yang tanpa sadar hidup dalam diriku tanpa aku sadari.
Walaupun aku sudah mendapatkan apa yang selama ini ingin aku perjangkan, ternyata perjuanganku memang tidak berhenti sampai disini saja. Ada yang mesti aku hadapi sendiri di langkahku selanjutnya. Masalah terbesarku. Against myself and break the limit of myself.
*****
Itulah awal dari bagian perjalananku yang masih panjang dan berkelat-kelut. Masih banyak yang harus aku lalui.entah berhasil atau tidak biar Tuhan yang menentukan. Kuserahkan semuanya bagi-Nya yang mengenal diriku melebihi siapapun juga bahkan diriku sendiri. Semoga saja, orang-orang yang ada dan akan ada di sekitar hidupku selalu dapat menerimaku apa adanya. Wakau tanpa uang yang berlimpah, tanpa kemewahan dan keindahan sesaat akan terus membantu dan mendukung hidupku selalu.
*****
Aku tak menggenggam kebenaran apapun dalam diriku
Aku tak tahu mana yang benar dan mana yang salah seutuhnya
Sebab aku bukan pejuang kebenaran
Tak ada yang istimewa dalam diriku
Cuma segumpalan harapan tuk melihat senyum kebahagian dari setiap orang
Itulah diriku
TAK LEBIH.....